Rabu, 07 April 2010

Mencari Kebahagiaan – Sebuah Renungan Filsafat

Sekilas saya teringat pada sebuah judul film yang dibintangi will smith ketika saya memikirkan atau lebih tepat sedang menuliskan judul dari artikel ini: The Pursuit of Happiness. Jujur, saya belum pernah nonton film ini, cuma pernah beli vcdnya dan belum sempat saya tonton karena tidak bisa diputar di laptop saya. Saya tidak tahu isinya, walaupun ketika memikirkan tentang “Kebahagiaan” saya sering teringat tentang judul film tersebut.

Kembali ke topik.

Sekilas mengenai Kebahagiaan

Kebahagiaan dalam arti paling sederhana adalah RASA MANUSIA. Maksudnya adalah kebahagiaan adalah suatu kondisi dimana seseorang insan manusia mengalami “perasaan – (perasaan)” atau “emosi – (emosi)” bahagia. Dalam pengalaman “pribadi” saya sebagai manusia, identitas rasa ini selalu saja merupakan entitas yang temporer, dengan demikian kebahagian juga memiliki suatu rentang periode tertentu. Bahagia adalah bagian dari rasa. Bagian dari manusia.

Pelabelan “rasa tertentu” yang mengada dalam diri manusia menjadi nama “bahagia”, saya pikir lebih pada sebuah proses kategorisasi. Rasa atau emosi dalam diri manusia secara holistik adalah “SATU”, namun ia mengejawantah dalam berbagai bentuk yang “oleh kita” sepertinya berbeda beda. Perbedaan perbedaan inilah yang kemudian kita namai berbeda beda. Sedih, Haru, Tawa, Takut, dan sebagainya adalah bentuk bentuk dari RASA yang satu.

Senang, Suka, Gembira, merupakan penamaan penamaan dari beberapa pengejawantahan perasaan / emosi. Bahagia merupakan sebuah hal yang unik (sejauh dari pengalaman bahasa saya), yang menempati posisi yang levelnya lebih tinggi dari sekedar senang, suka, enak, atau gembira. Bahagia secara personal memiliki tingkat yang lebih tinggi dari sekedar senang. Bahagia bisa mencakup senang, gembira, suka, namun senang belum tentulah merupakan hal yang seseorang rasakan sebagai “kebahagiaan”.

Penggunaan kata bahagia dalam kesehari harian tidak pernah (jarang sekali) dinisbahkan pada peristiwa peristiwa yang temporer (memiliki periode yang singkat). Contohnya ketika kita mendapat sebuah kejutan dari sahabat, kita akan mengatakan bahwa perasaan kita senang, atau gembira, atau suka, tetapi penggunaan kata bahagia kurang tepat dalam peristiwa tersebut.

Bahagia digunakan lebih pada penghayatan atau penilaian kehidupan yang telah ditempuh atau akan ditempuh (dalam rentang yang cukup panjang). Dia lebih bersifat umum dan lebih mendalam.

Apakah engkau Bahagia? Pertanyaan seperti ini, sering kali ditanyakan bukan karena adanya sebuah moment tertentu. Ia bersifat mempertanyakan “kehidupan” yang telah dijalaninya. Bahagia adalah sebuah taraf yang rasa dari kumpulan kumpulan rasa.

Mencari Kebahagiaan?

Terkadang, atau mungkin sering kali, orang mengatakan bahwa dalam hidup ini yang dicari adalah Kebahagiaan. Kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang abadi. Hal ini juga ditambah akan kenyataan bahwa kepercayaan kepercayaan masyarakat juga mengisyaratkan akan hal ini. Surga adalah sebuah simbol dari Kebahagiaan. Disanalah tempat pencariaan dimana setiap orang ingin mendiaminya. Surga adalah sumber kebahagiaan. Dari kecil kita sudah ditanamkan akan hal ini. Surga digambarkan / diilustrasikan memiliki apa yang sering menimbulkan rasa senang, atau suka atau gembira: kesenangan (makanan yang enak, minuman yang nikmat), keindahan (emas, wanita cantik / bidadari), dan tentunya seksualitas sebagai sumber ektase alami.

Aktifitas kita (yang tersadari) sering kali ditujukan untuk mencari kebahagiaan. Untuk apa anda kerja? Untuk apa anda cari uang? Untuk apa anda Beribadah? Untuk apa anda Berdoa? Terkadang jawaban yang muncul adalah Untuk Kehidupan yang lebih baik, untuk mendapatkan Surganya, Untuk membahagiakan keluarga saya (yang tentunya dia sendiri), dan akhirnya untuk Kebahagiaan.

Dari pengalaman saya atau dalam pengetahuan saya, Kebahagiaan itu adalah kumpulan dari rasa rasa “bahagia”, kumpulan dari senang, suka, enak, nikmat, ektase dan sejenisnya. Pencarian Kebahagiaan sesungguhnya lebih kepada pemerolehan rasa rasa “bahagia” tersebut dalam sebuah gerak hidup insan manusia. Sebisa mungkin memperpanjang waktu atau periode dimana kita memperoleh rasa rasa “bahagia”. Sebisa mungkin mencari moment moment yang bisa memunculkan rasa rasa “bahagia”.

Polaritas Rasa dan Moment Periodik

Secara alami, atau responsif, kita berekasi dengan situasi atau kondisi. Saya pikir, rasa rasa “bahagia” tidaklah mungkin hadir dalam kosa kata kita jika tidak ada rasa rasa “tidak bahagia”. Dalam arti tertentu bahagia merupakan sebuah ungkapan untuk menafikan yang rasa rasa “yang bertentangan dengannya”: duka, sedih, takut, menderita, dan sebagainya.

Surga sebagai sebuah simbol impian kebahagiaan dilukiskan tidak akan memunculkan jenis jenis perasaan duka, sedih takut, sebagaimana dia ditentangkan dengan Neraka sebagai simbol ketakutan atau ketakbahagiaan.

Bahagia adalah kumpulan moment moment periodik rasa tertentu manusia. Menderita juga merupakan kumpulan moment moment periodik rasa tertenut manusia. Secara responsif, kondisional, dia bereaksi terhadap situasi dan apa yang ditangkap oleh indera kita. Makanan yang lezat oleh lidah berlawanan dengan Makanan yang bikin lidah “gak bahagia”, Suara yang merdu, berlawanan dengan Suara yang sumbang yang ditangkap oleh telinga. Bau yang wangi oleh hidung, berlawanan dengan bau yang busuk, dan Hadiah dari teman yang kita nantikan, berlawanan dengan Tamparan atau Makian dari Orla, dan sejenisnya. Semuanya memiliki rentang waktu, semuanya memiliki periode periode tertentu.

Kebahagiaan hanyalah Rasa tidak kurang tidak lebih

Kebahagiaan adalah Rasa. Hanya itu yang bisa saya simpulkan. Akan tetapi, sebagai manusia, sebagai orang, sebagai insan yang benar benar “ada dan mengada di bumi ini” saya katakan bahwa, Kebahagiaan tanpa adanya rasa yang berlawanan, semisal kecut, takut, benci, muak, dan sebagainya, layaknya kebahagian di Surga tanpa Neraka, adalah sebuah Robot alias Kebahagiaan Semu. Kita tidak lagi MENJADI MANUSIA jika kita hanya mengalami RASA RASA BAHAGIA.

Manusia adalah Rasa: duka, cinta, asmara, senang, duka, tangis, takut, dst. Dari segala rasa kita MENJADI DAN BERPROSES sebagai MANUSIA.

Duka, cinta, senang, kecut, adalah alami dan hampir selalu dimiliki oleh insan manusia, hanya saja bagaimana kita mengelolanya dan menghadapinya. Pemahaman, Pengertian, Langkah langkah situasional, bisa memperpanjang moment moment bahagia dan memperpendek moment moment tak bahagia. Kita tidak bisa mengelak dari memiliki rasa rasa bahagia, sebagai mana anda tak bisa mengelak jika sedang menyantap masakan yang lezat atau menikmati seks yang hebat, sebagaimana juga anda tak bisa mengelak jika sedang menghirup bau busuk bangkai tikus di rumah. Tinggal bagaimana kita mengelolanya dan memahaminya. :)

Salam Penuh Rasa

Haqiqie Suluh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar